Klinik Jamu: Transformasi Industri Farmasi Halal Indonesia
Sumber : Jamu Sajen |
Keberagamaan umat Islam di berbagai negeri, termasuk di Indonesia,
pada dasawarsa terakhir ini semakin tumbuh subur dan meningkat. Sebagai
konsekuensi logis, setiap timbul persoalan, penemuan, maupun aktifitas
dan hasil eksperimen baru sebagai produk dari kemajuan tersebut, umat
senantiasa bertanya-tanya, bagaimanakah kedudukan hal tersebut dalam
pandangan ajaran dan hukum Islam. Produk-produk olahan, khususnya
bidang farmasi telah membanjiri pasar Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Produk-produk tersebut banyak mendapat
perhatian dari umat Islam, apalagi jika berasal dari negeri yang
penduduknya mayoritas non muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang
suci dan halal. Sebab tak menutup kemungkinan dalam proses pembuatannya
tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang haram. Dengan
demikian, produk-produk olahan tersebut bagi umat Islam bukan persoalan
sepele tetapi persoalan besar dan serius. Oleh karena itu, umat Islam
sangat berkepentingan untuk mendapat ketegasan tentang status hukum
produk-produk tersebut, sehingga apa yang dikonsumsi tidak menimbulkan
keresahan dan keraguan.
Industri farmasi tidak luput dari
perhatian umat islam. Salah satu industri farmasi yang berkembang di
Indonesia adalah industri jamu. Sebagai salah satu produk khas
Indonesia, jamu memang memiliki pangsa pasar tersendiri. Hal ini
terbukti dengan kemampuan salah satu produsen jamu, PT Sido Muncul yang
menembus pasar internasional. Namun, tembusnya pasar internasional tak
membuat jamu dengan mudah menyetarai ke-eksis-an obat-obatan kimia. Jamu
masih dipandang sebelah mata baik oleh negara lain maupun masyarakat
Indonesia sendiri. Kekurangan lain dari industri jamu di Indonesia yaitu
sistem pemasaran yang masih tradisional dan kurang relevan dengan
kondisi pada saat ini, serta kurangnya dukungan dari pemerintah dalam
hal regulasi sehingga industri jamu memiliki tantangan besar dalam pasar
global meskipun sudah mengantongi sertifikasi keamanan dan kehalalan
produk. Padahal Industri jamu di Indonesia memiliki keunggulan
komparatif yang tidak dimiliki negara produsen lain. Selain ketersediaan
bahan baku dan SDM yang memadai, harga produk jamu dan obat tradisional
Indonesia juga kompetitif dan jumlahnya mampu memenuhi kebutuhan
seluruh masyarakat serta terbukti menyehatkan dan tak memiliki efek
samping. (Suhaji: 2011). Industri jamu memiliki peluang besar untuk
menguasai pasar internasional atau dengan kata lain poros industri
farmasi dunia. Tentunya dibutuhkan langkah strategis untuk mewujudkan
hal tersebut. Era sekarang adalah era dimana teknologi berkembang
sangat pesat. Setiap saat ilmu pengetahuan terus berkembang yang
kemudian dikonversi menjadi produk melalui sentuhan teknologi. Pada awal
sejarahnya, obat-obatan memang dikembangkan dari bahan-bahan biologi,
seperti dari hewan dan tumbuhan. Jamu, ginseng, dan ramuan khas dari
China digunakan oleh tabib-tabib zaman dahulu untuk mengobati orang
sakit. Bahkan, bisa ular pun dijadikan obat. Zaman sekarangpun obat-obat
jenis ini masih dengan mudah dapat kita jumpai.
Seiring dengan
kemajuan zaman dan berbagai macam tuntutan, jenis pengobatan pun
perlahan mengalami evolusi. Dalam pengembangan obat, secara umum ada dua
jenis hewan yang sering dijadikan bahan dasar, yaitu babi dan sapi.
Kedua jenis hewan ini memiliki perbedaan yang paling sedikit dari sisi
fisiologinya jika dibandingkan dengan manusia. Insulin babi, misalnya,
hanya berbeda 1 asam amino saja dibandingkan dengan insulin manusia.
Insulin sapi berbeda 3 asam amino dibandingkan insulin manusia. Setelah
hasil penelitian ini dipublikasikan, maka meledaklah bahan-bahan obat
yang berasal dari kedua hewan ini. Sebutlah insulin, heparin,
pankreatin, dan lain-lain. Secara umum, obat-obatan yang berbahan dasar
protein, selalu dikembangkan dari kedua jenis hewan ini. Keberhasilan
ini ternyata dibarengi dengan keterbatasan di sisi lainnya. Salah satu
keterbatasan itu menyangkut religious beliefs dan lifestyle. Menyadari
keterbatasan yang ada, pihak industri farmasi dan para peneliti di
seluruh dunia terus melakukan pencarian bahan obat baru. Melalui
ilmu-ilmu terkait, kimia medisinal, teknologi farmasi, dan lain-lain,
obat sintetik pun dibuat. Secara sederhana kita bisa mendefinisikan obat
sintetik sebagai obat yang dibuat melalui serangkaian reaksi atau
rekayasa kimia di laboratorium. Mereka yang berkutat pada ilmu kimia
medisinal akan sangat paham tentang cara mengotak-atik struktur kimia
untuk mencari potensi obat baru. Obat sintetik inilah yang kemudian
"meniru" struktur maupun efek bahan obat yang berasal dari hewan maupun
tumbuhan, Pada kodratnya manusia yang ada di bumi
Indonesia pun membutuhkan produk yang halal, semua yang diciptakan oleh
Allah SWT pasti bermanfaat. Begitupun dengan adanya sebuah penyakit
Allah tidak menurunkan obat pada sesuatu yang haram Inilah prinsip
penting yang perlu kita pahami. Prinsip ini berdasarkan keterangan Ibnu
Mas'ud, "Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan obat untuk penyakit kalian dalam benda yang diharamkan untuk kalian."
(HR. Bukhari secara Muallaq, 7/110). Berdasarkan hadits tersebut,
sebagai seorang muslim sudah tentu hanya memilih produk halal saja
sebagai obat. Memang tidak semua yang Allah haramkan isinya 100%
membahayakan tetapi Allah pasti mengharamkan benda itu disebabkan adanya
madharatyang lebih besar dibandingkan manfaatnya.
Namun
penelitian yang dilakukan oleh Mashudi (2011) menunjukkan rendahnya
Respon masyarakat terhadap sertifikasi produk halal termasuk obat. Hal
ini akibat berbagai faktor, yaitu faktor keyakinan moral agama, faktor
pertimbangan ekonomis, dan faktor budaya. Dimana tidak semua masyarakat
muslim di Indonesia menerapkan teks wahyu sebagai hukum yang hidup,
sehingga sering mengabaikan ada atau tidaknya label halal pada sebuah
produk. Secara umum, pada perilaku konsumen terjadi perbedaan yang
disebabkan faktor budaya, seperti budaya memengaruhi struktur konsumsi
dan budaya memengaruhi individu dalam mengambil keputusan. Budaya
adalah variableutama dalam penciptaan dan komunikasi makna
didalam produk. Berdasarkan faktor budaya inilah keputusan pembelian
masyarakat Indonesia cenderung untuk back to nature(kembali
menggunakan produk dari alam) serta lebih memilih pengobatan tradisional
daripada pengobatan modern. Indonesia sendiri cara ini sudah dikenal
sejak puluhan tahun silam, salah satu produknya adalah jamu.
Permasalahannya adalah banyak pula produsen jamu yang memasukan bahan
kimia berdosis tinggi ke dalam racikannya yang jelas membahayakan
konsumen. Berdasarkan pengetahuan penulis produk jamu sendiri
sangat variatif namun sosialisasi ke masyarakat akan hal ini sangat
minim. Sehingga banyak merk jamu yang berkualitas dan halal tetapi tidak
diketahui oleh konsumen secara luas, seperti beberapa produk jamu
keluaran PT. Sido Muncul yang berkhasiat dalam mengobati penyakit serius
(tumor dan kanker). Hal inilah yang membuat advertising
sangat dibutuhkan oleh perusahaan produsen jamu. Selain itu, gaya hidup
modern membuat masyarakat lebih suka dengan tempat yang nyaman ketika
berbelanja. Begitupun dalam hal memperoleh kesembuhan. Konsumen
menginginkan lingkungan yang nyaman dan aman. Oleh karena itu
warung-warung jamu yang terdapat saat ini menurut penulis kurang sesuai
dengan permintaan tersebut. Sebuah penelitian oleh Jusmaliani dan
Nasution dalam Soesilowati (2009) dengan menggunakan responden Muslim
Indonesia yang tinggal di Jakarta (87) dan Melbourne (73), menunjukkan
80% responden menyatakan sangat setuju bahwa mengkonsumsi produk halal
adalah penting. Dari dua fakta tersebut dapat ditarik benang merah
bahwa masyarakat Indonesia menginginkan obat herbal (jamu) yang halal
untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, melihat potensi pasar industri
farmasi jamu, tidak hanya membuat brand terhadap produk farmasi
jamu-jamu, tetapi revitalisasi pasar jamu juga sangat dibutuhkan, yaitu
transformasi warung jamu pinggir jalan menjadi sebuah klinik jamu yang
lebih modern sehingga jamu dapat bersaing tidak hanya dipasar Indonesia
tetapi juga pasar global.
Solusinya adalah mentransformasi warung-warung jamu yang ada menjadi klinik jamu, disamping mengoptimalkan sosialisasi melalui advertising.
Klinik jamu menyediakan jasa konsultasi baik jasmani maupun rohani
serta menjual produk-produk jamu bersertifikasi halal. Penyediaan jasa
konsultasi jasmani bertujuan untuk mengetahui penyakit pasien sehingga
dapat diketahui jamu apa yang perlu dikonsumsi. Sementara itu konsultasi
rohani memiliki tujuan untuk men-charge iman sehingga diharapkan pasien bukan hanya sembuh secara lahiriah pun juga batiniah.
Transformasi
ini tidak sekedar merubah citra warung menjadi klinik tetapi juga
membangun sistem terstruktur yang melibatkan instansi pemerintah sebagai
pengawas. Dalam hal ini penulis merekomendasikan LPPOM MUI dan BPOM
sebagai badan pengawas klinik-klinik jamu. Pengawasan dapat dilakukan
tiap bulan oleh MUI & BPOM di masing-masing provinsi, baik secara
keseluruhan maupun cukup mengambil sampel, berkaca dari pengawasan
takaran pada PT Pertamina. Sistem ini memang terkesan menghabiskan biaya
serta menambah pekerjaaan MUI & BPOM. Namun, biaya bisa ditekan
dengan cara memanfaatkan teknologi serta menggunakan sumber daya secara
efisien.
Transformasi ini diharapkan dapat berjalan dengan lancar
sehingga nantinya berkembang dalam skala nasional bahkan global.
Sehingga dalam 10 tahun mendatang, klinik jamu menjadi poros farmasi
dunia dan menjadi sumber penghasilan Sumber Daya Manusia Indonesia.
Comments
Post a Comment