Meningkatkan Kemandirian Ekonomi dan Kesejahteraan Pondok Pesantren Melalui Penguatan Peran BMT dan Kopontren Berbasis Inkubator Kewirausahaan

Kopontren Sidogiri


Pondok pesantren (ponpes) merupakan lembaga pendidikan khas Indonesia, tidak terkecuali Banten. Banten yang terkenal dengan jargonya iman dan taqwa menunjukan karakter sosial budaya religius dan menegaskan bahwa Banten sangat kental dengan keislamannya dalam setiap sendi-sendi kehidupan masyarakatnya, terutama dalam hal pendidikan.
Keberadaan pesantren di Banten dari zaman ke-wali-an hingga sekarang telah banyak melahirkan para intelektual lokal dan memberi peran aktif dalam perkembangan dan pengembangan Banten sebagai provinsi, diantara tokoh yang terkenalnya adalah Syeikh Nawawi Al Bantani. Maka menjadi tidak wajar jika keberadaan pesantren tidak tersentuh secara pasti dan konkrit oleh APBN atau APBD. Namun, ada stigma dari beberapa kelompok masyarakat bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang belum mampu menjawab tantangan kedepan dan image pesanteren yang sederhana mengangap pesanteren dekat dengan “kemiskinan”. Oleh karena itu pesantren harus mampu mejawab stigma-stigma yang ada dibeberapa kalangan masyarakat yang belum tentu kebenarannya.
Di era yang kian maju ini pesantren didorong untuk dapat mandiri dalam menjalankan aktivitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam dan tidak selalu mengharapkan bantuan dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Pesantren harus mampu meningkatkan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan melalui kegiatan-kegiatan produktif berbasis kewirausahaan melalui prisip-prinsip syariah. Dalam hal ini Baitul Ma’al Wa Tamwil (BMT) dan Koperasi dianggap sebagai sistem yang sesuai dengan prinsip islam dan budaya Indonesia.
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dan koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu : Pertama, Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membiayai kegiatan ekonomi rakyat dengan menggunakan Sistem Syariah. Dalam hal ini BMT bisa dioptimalkan dalam pemberdayaan kredit produktif usaha mikro melaui yang membutuhkan modal kerja. Serta Koperasi yang merupakan badan usaha yang berasaskan kekeluargaan yang menjadi amanat dalam UUD 1945 pasal 33 dimana sistem perekonomian Indonesia disusun berdasarkan asas kekeluargaan. Sehingga kedua lembaga ini diharapkan mampu mendorong kemandirian ekonomi dan kesejahteraan pondok pesantren dan lingkungan sekitarnya.
Dalam hal pondok pesantren di Banten. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten membutuhkan payung hukum dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) tentang Pondok Pesantren dalam upaya mengoptimalkan pemberdayaan pesantren dan para santri di Banten. Banten memiliki potensi pesantren yang cukup banyak, diantaranya pesantren salafi. Ini harus diberdayakan, terutama dalam bidang ekonomi, apalagi menghadapi persaingan yang lebih ektrem lagi," kata Gubernur Banten Rano Karno usai menghadiri peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharam 1437 H di Mesjid Al-Bantani di Serang, Kamis (22/10). Ia mengatakan, sejalan dengan program yang akan dilaksanakan Kementerian Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) terkait pemberdayaan ekonomi pesantren, maka Pemerintah Provinsi Banten sebagai daerah yang memiliki potensi besar lembaga pesantren siap bersinergi untuk melaksanakan program tersebut.
Namun demikian, kata dia, dalam rangka pemberdayaan pesantren tersebut, Pemprov Banten membutuhkan payung hukum dalam bentuk Perda Pesantren. Perda tersebut dimungkinkan harus dimiliki Banten karena terkait dengan kearifan lokal mengenai keberadaan pesantren tersebut. "Perda pesantren ini harus ada dalam upaya pemberdayaan pesantren. Karena kalau tidak diberdayakan akan ketinggalan," kata Rano. Ia mengatakan, Banten memiliki potensi pesantren yang cukup besar dengan jumlah pesantren yang tercatat sekitar 3500 pesantren dengan jumlah santri sekitar 200 ribu orang. "Tentu bantuan pertama yang akan kita berikan untuk penguatan institusi atau lembaganya, karena banyak yang belum memiliki legalitas," kata Rano Karno. Kemudian, kata dia, pemberdayaan ekononmi pesantren tersebut bisa dilakukan melalui program dari pusat seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang jumlahnya saat ini mencapai Rp50 triliun. Dalam kegiatan peringatan Tahun Baru Islam dan Deklarasi Hari Santri Nasional (HSN) tersebut, dihadiri ribuan para santri dari delapan kabupaten/kota di Banten. Gubernur Banten Rano Karno mengajak segenap elemen umat islam, khusunya para ulama, mubaligh, ormas islam, lembaga dakwah dan lembaga pendidikan islam untuk memberi perhatian yang sungguh-sungguh terhadap upaya pembinaan umat dan peningkatan kualitas kehidupan beragama. "Perhatiannya bisa melalui pemberdayaan, yaitu dakwah, tarbiyah, dan ukhuwah yang menyentuh kedalam isi, pesan dan tujuan beragama yang sesungguhnya," kata Rano Karno. (www.republika.co.id)

SEJARAH PONDOK PESANTREN
Tradisi pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Pulau Jawa dan Madura yang dalam perjalanan sejarah telah menjadi objek penelitian para sarjana yang mempelajari Islam di Indonesia. Istilah pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran–an sehingga menjadi kata pe-santri-an, kemudian berubah menjadi pesantren yang artinya adalah tempat para santri. Profesor Jhons berpendapat bahwa istilah santri berasal dan bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedang C.C.Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dan kata shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agam Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Dewasa ini istilah santri berarti peserta didik di sebuah pesantren yang dengan tekun mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu agama Islam. Sedangkan pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam. (tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu 1994:6).
Beberapa sumber dan literatur menunjukkan bahwa istilah pendidikan pesantren, menurut corak dan bentuknya yang asli adalah suatu sistem pendidikan yang berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, pesantren adalah sistem pendidikan yang digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu dan Budha. Setelah Islam masuk dan tersebar di wilayah ini, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Namun sebagian ahli membantah pendapat ini, mereka menyatakan walaupun kata pesantren berasa dari India, namun sistem pendidikan tersebut juga ditemukan dalam tradisi Islam di Timur Tengah, seperti Baghdad dengan al-Nidhamiyah dan Mesir dengan al-Azharnya (Steenbrink, 1994).
Pesantren Islam pertama di Indonesia didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim. Syeikh Maulana Malik Ibrahim mendirikan pesantren pada tahun 1399 M. Sedang M. Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri pesantren pertama di Indonesia. Bahkan ada ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati sebagai pendiri pesantren pertama. Dalam dunia pesantren, menurut Zamakhsari Dhofier, terdapat lima elemen dasar yang menjadi unsur pesantren, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, dan kyai. Sedangkan Soedjoko Prasodjo menggambarkan bahwa elemen dasar dan tradisi pesantren tergantung pada pola pesantrennya, dari yang paling sederhana sampai yang paling maju. Pola I adalah pesantren yang terdiri dari hanya masjid dan rumah kyai; Pola II adalah pesantren yang terdiri dan masjid, rumah kyai, dan pondok. Pola III pesantren yang terdiri dan masjid, rumah kyai, pondok dan madrasah. Pola IV terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, dan tempat keterampilan. Dan Pola V ialah pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pesantren di Indonesia telah ada sejak sekitar 600 tahun yang lalu. Usianya yang panjang ini sudah cukup menjadi alasan untuk menyatakan bahwa pesantren merupakan salah satu bentuk budaya bangsa dalam bidang pendidikan.

PERMASALAHAN EKONOMI PONDOK PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN.

PERMASALAHAN EKONOMI PONDOK PESANTREN.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang memiliki peran multi fungsi, baik agen perubahan sosial, agen pemberdayaan ekonomi masyarakat maupun penjaga nilai budaya tertentu. Keunikan inilah, yang menyebabkan pesantren dianggap sebagai sub kultur dari masyarakat Indonesia. Meskipun dengan kultur dan latar belakang yang hampir sama, setiap pesantren memiliki tingkat kemajuan yang berbeda, termasuk peran sertanya dalam pemberdayaan ekonomi. Fenomena pemberdayaan ekonomi ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam dari perspektif pendidikan ekonomi, sebab pesantren adalah bagian penting dari pembangunan pendidikan dan pembangunan ekonomi secara nasional di Indonesia.
Pondok pesantren mempunyai andil yang sangat besar sebagai sub sistem pendidikan dan pembangunan sosio kultural di Indonesia. Pada umumnya Pondok pesantren belum mengembangkan wacana kemandirian ekonomi pondok pesantren. Aktifitas pondok pesantren saat ini hanya ditopang sebagian besar oleh dana ZISWAF masyarakat, sumbangan pendidikan santri dan bantuan pemerintah. Hal ini terlihat beberapa pondok pesantren belum mampu membiayai aktifitasnya secara mandiri melalui kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi.

STRATEGI PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
Dalam pandangan Tauhid ilmu, realitas kejatuhan pusat-pusat ekonomi umat, pada dasarnya tidak hanya bersifat ekonomi dan politik saja, tetapi dapat dipandang juga sebagai peristiwa kejatuhan agama, karena pada kenyataanya, ketahanan ekonomi suatu masyarakat akan berpengaruh pula pada ketahanan ideologi politik dan keyakinan agamanya. Kejatuhan ekonomi juga berkaitan dengan suatu etos kerja, yang dasar rajutan nilai-nilai yang membentuk sikapnya dalam kerja adalah agama.
Untuk mengatasi kejatuhan ekonomi tidak makin meluas dan berdampak pada kejatuhan agama, sudah waktunya pendidikan Islam memberikan bobot yang lebih pada pembentukan watak wirausaha, melalui kurikulum muatan lokal, sebagai salah satu bagian terpenting dari tujuan pendidikannya. Membentuk watak wirausaha yang utama dan pertama, bukan hanya sekedar memberikan pelajaran keterampilan teknis bagi seorang wirausaha hanyalah pelengkap saja, bukan yang utama, karena yang utama adalah wawasan dan kemampuan melihat peluang dan potensi dan ekonomi yang ada dalam kehidupan sekitarnya.

PRINSIP-PRINSIP PEMBIAYAAN ISLAM
Untuk menyesuaikan dengan aturan-aturan dan norma-norma Islam, lima segi religius, yang berkedudukan kuat dalam literatur, harus diterapkan dalam perilaku investasi. Lima segi tersebut adalah:5
a.       Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba).
b.      Pengenalan pajak religius atau pemberian sedekah.
c.       Pelarangan produksi barang dan jasa yang bertentangan dengan system nilai Islam (haram).
d.      Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maysir (judi) dan gharar (ketidakpastian).
e.       Penyediaan Tafakul (asuransi Islam).
Lima unsur ini memberikan identitas religius yang khusus terhadap perbankan dan keuangan Islam.

JENIS-JENIS PEMBIAYAAN SYARI’AH
1. Musyarakah
Secara bahasa syirkah- atau musyarakah berarti bercampur. Dalam hal ini ini mencampur satu modal dengan modal yang lain. Dalam istilah fikih syirkah adalah suatu akad antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan. Muhammad Syafi’i dalam bukunya Bank Syari’ah (Dari Toeri ke Praktik) mendefinisikan Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah (syirkah) adalah percampuran dana untuk tujuan pembagian keuntungan. Dengan musyarakah, baik lembaga keuangan maupun klien menjadi mitra usaha dengan menyumbang modal dalam berbagai tingkat dan mencapai kata sepakat atas suatu rasio laba di muka untuk suatu waktu tertentu.

2. Mudharabah
Akad mudharabah merupakan akad kerja sama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah bagi hasil (keuntungan atau kerugian) menurut kesepakatan. Kemudian apabila terjadi kerugian, resiko dana akan ditanggung oleh pemilik modal selama bukan karena kelalaian pihak pengelola. Namun apabila kerugian disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian pihak pengelola, maka mereka harus mempertang-gungjawabkan atas kerugian tersebut.9 Umumnya, porsi bagi hasil ditetapkan bagi mudharib lebih besar daripada shahibul maal, pada akhir jangka waktu pembiayaan, dana pembiayaan dikembalikan kepada pihak shahibul maal. Pada pembiayaan mudharabah pihak shahibul maal tidak boleh ikut serta dalam manajemen proyek yang dibiayai.
Ahmad Sumiyanto dalam pemaparannya menjelaskan bahwa Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman nabi bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktik mudharabah ini dibolehkan, baik menurut al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma.

PEMBERDAYAAN UNTUK KEMANDIRIAN EKONOMI PONDOK PESANTREN
Kemandirian ekonomi pondok pesantren belum banyak ditopang oleh  peran usaha/unit bisnis yang dijalankan oleh koperasi pondok pesantren. Pada  umumnya pondok pesantren mengembangkan kegiatan ekonominya pada aspek-aspek berikut.
1.      Pembangunan Sarana Pondok Pesantren.
2.      Operasional pendidikan.
3.      Kesejahteraan Pengajar.
4.      Biaya Hidup dan biaya belajar santri.
5.      Pengembangan pondok pesantren

Kemandirian ekonomi pondok Pesantren adalah sebuah kondisi dimana  aspek ekonomi pondok pesantren dapat ditopang oleh sistem ekonomi pondok  pesantren yang berkembang dan berkelanjutan sebagai bagian dari sistem  keseluruhan sebuah pondok pesantren. Dalam perkembangannya Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) tidak melulu dikembangkan dalam model yang konfensional dan linier.
Kopontren dapat dikembangkan dengan modifikasi yang luas. Modifikasi kopontren dapat diatur berdasarkan komunitas yang mendukung usaha. Modifikasi pesantren yang dapat dilakukan antara lain:
1.      Koperasi Guru: usaha pelatihan, penelitian dan penerbitan, penerjemaahan serta kebutuhan pengajar.
2.      Koperasi Santri : buku pelajaran, alat tulis, dan kebutuhan harian santri
3.      Koperasi Guru dan Santri: usaha produksi, perdagangan, koperasi konsumsi.
Unit usaha pondok pesantren juga dapat dimodifikasi dengan melakukan akuisisi, merger atau sinergi dengan lembaga keuangan atau bisnis yang lain. Unit usaha pondok pesantren yang kedudukannya berada di lingkungan pondok pesantren mempunyai nilai strategis dalam pengembangan kehidupan ekonomi di sekitar pondok pesantren. Pada posisi tertentu, unit usaha pondok  pesantren akan dapat menopang keberlangsungan aktifitas santri, ustadz dan kyai di pesantren. Sedangkan sistem yang paling cocok untuk diterapkan pada unit usaha pondok pesantren dapat menggunakan Prinsip Syariah sebagai acuannya. Dalam hal ini, transaksi yang dikelola unit usaha pondok pesantren dapat disesuaikan dengan akad (contract) yang disepakati.
Selanjutnya pondok pesantren juga dapat mengembangkan Baitul Maal Wa Tamwil yang ada di pondok pesantren kearah yang lebih produktif. Menurut data, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) dalam bentuk Baitul Maal wat Tamwil (BMT) berkembang sangat signifikan. Hal ini tidak lepas dari perkembangan kinerja dari BMT secara nasional di tahun ini telah mencapai aset sebesar Rp 4,7 triliun dan jumlah pembiayaan sebesar Rp 3,6 triliun. (www.republika.com, 2015)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dan koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu : Pertama, Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membiayai kegiatan ekonomi pondok pesantren dengan menggunakan Sistem Syariah. Dalam hal ini BMT bisa dioptimalkan dalam pemberdayaan kredit produktif usaha mikro melaui yang membutuhkan modal kerja.

BAITUL MAAL WA TAMWIL DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI PONDOK PESANTREN.

            Dari gambar diatas menjelask adalah tugas dari BMT untuk menjaring dana-dana tersebut kemudian di distribusikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai dengan yang telah di atur dalam al-Quran yang diistilahkan dengan Ashnaf Delapan. Dalam posisi ini, BMT berfungsi sebagai pool dana setelah dana masuk maka disinalah peran BMT dengan 4 dimensinya berjalan.

BMT SEBAGAI PRODUSER
Dalam hal Produksi terbagi dua, yaitu produk berupa barang dan produk berupa jasa, dalam hal ini BMT memberikan produk berusa jasa keuangan, yaitu fungsinya sebagai Baitul Taamwil, BMT memberikan bantuan pendanaan untuk aktivitas perekonomian umat dalam skala kecil. Untuk fungsi BMT yang satu ini, ada beberapa produk yang ditawarkan oleh BMT kepada nasabah, diantaranya Musyarakah, Mudharabah, Murabahah, Muzaraah, Wusaqot, Bai’u Bithaman Ajil, Ijarah Muntahia Bit Tamlik. Di dalam proses ini, maka BMT adalah termasuk salah produser dalam penyediaan jasa keuangan yang berbasis syariah dengan skala mikro. Tujuannya adalah untuk mengimplementasikan sistem keuangan syariah yang sesuai dengan tata cara dan aturan permainan pengelolaan keuangan di dalam Islam. Masyarakat dalam hal ini dapat memanfaatkan produk-produk yang ditawarkan BMT  sesuai dengan usahanya.

BMT SEBAGAI KONSUMEN
Di dalam Islam, lembaga keuangan mempunyai tiga macam akad pembiayaan, Pertama Syirkah (Penyertaan/investasi dengan bagi hasil). Akad kedua yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah adalah Tijarah. Posisi BMT dalam hal ini kita dudukkan sebagai pembeli, karena dalam posisi ini, BMT memiliki peran yang sangat signifikan dalam memenuhi pelayanan jasa akan penyediaan produk dan barang yang menggunakan akad tijarah. Akad yang ketiga adalah Ijarah. Ijarah memiliki makna sewa menyewa. Untuk akad ini, terhimpun setidaknya dua produk lembaga keuangan syariah, Ijarah dan Ijarah Munthahia Bit Tamlik. Untuk memenuhi kebutuhan akan produk ini, kembali kita posisikan BMT sebagai konsumen dari mitranya. Alasannya adalah kalau BMT memiliki stock barang yang akan disewakan, maka ia tidak akan menggunakan mitranya. Tetapi kalau BMT tidak memiliki barang yang diminta, ia akan kembali membeli barang kepada mitranya untuk kemudian disewakan kepada nasabah/ anggota. Alasan ini berlaku juga untuk pemenuhan kebutuhan BMT dalam akad Tijarah diatas.

BMT SEBAGAI DISTRIBUTOR
`BMT sebagai distributor adalah mengembalikan fungsi sosial BMT di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengembalikan fungsi tersebut, perlu di telaah beberapa hal, di antaranya:
·         BMT sebagai bentuk lembaga penjaringan dana Zakat, Infak, Sedekah (Baitul Maal)
Adalah tugas dari BMT untuk menjaring dana – dana tersebut kemudian di distribusikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai dengan yang telah di atur dalam al-Quran yang diistilahkan dengan Ashnaf Delapan. Dalam posisi ini, BMT berfungsi sebagai pool dana dan distributor dana. Untuk lebih jelasnya digambarkan secara sederhana, dapat di lihat pada gambar berikut:
Gambar 2. Distribusi BMT
·         BMT sebagai bentuk tolong menolong yang dilembagakan (Baitul Taamwil) Tolong menolong adalah suatu konsep dasar dalam setiap lembaga keuangan syariah, apakah ia berbentuk Asuransi, Bank maupun BMT sekalipun.

BMT SEBAGAI SIRKULATOR
Sirkulasi adalah pendayagunaan barang dan jasa lewat kegiatan jual beli dan simpan pinjam melalui agen, koperasi, lembaga keuangan baik sebagai sarana perdagangan atau tukar-menukar barang. Sedangkan sirkulator adalah orang/ lembaga yang mendayagunakan barang dan jasa tersebut.
BMT sebagai sirkulator adalah memfungsikan BMT sebagai aktor dari sirkulasi dan anggota/nasabah sebagai subjek serta barang dan jasa sebagai objek dari sirkulasi yang dilakukan. Prinsipnya dan operasionalnya sangat sederhana. Hal ini disebabkan karena kebanyakan BMT menggunakan akad Tijarah dalam produk-produknya.



KOPERASI SEBAGAI SOKOGURU PEREKONOMIAN INDONESIA DAN SISTEM EKONOMI SOSIAL
Koperasi dapat diartikan sebagai perkumpulan orang atau badan usaha yang memiliki tujuan yang sama yaitu mencapai kesejahteraan ekonomi yang berlandaskan asas kekeluargaan. Koperasi disebut sebagai soko guru perekonomian di Indonesia. Keberadaannya diharapkan mampu menjadi penopang perekonomian dengan sistem ekonomi sosialnya.

KOPERSASI SEBAGAI SOKOGURU PEREKONOMIAN INDONESIA
Sri Edi Swasono dalam Hendar Kusnadi (2005: 19) menjelaskan alasan koperasi menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia yaitu:
1.      koperasi merupakan wadah menampung pesan politik bangsa terjajah yang miskin ekonominya dan didominasi oleh sistem ekonomi penjajah. Koperasi menyadarkan kepentingan bersama, menolong diri sendiri secara bersama dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan produktif.
2.      Koperasi adalah bentuk usaha yang tidak saja menampung tetapi juga mempertahankan serta memperkuat idealitas dan budaya bangsa Indonesia. Kepribadian bangsa bergotongroyong dan kekolektivan akan tumbuh subur di dalam koperasi.
3.      Koperasi adalah wadah yang tepat untuk membina golongan ekonomi kecil (pribumi). Kelompok ekonomi kecil adalah masalah makro bukan masalah partial di dalam kehidupan ekonomi Indonesia, baik secara kualitas maupun kuantitas.
4.      Koperasi adalah lembaga ekonomi yang berwatak sosial. Koperasi dapat hidup baik dalam bangunan usaha swasta seperti PT, CV, Firma, dan lain-lain maupun bangun usaha Negara (perusahaan Negara), serta di dalam instansi-instansi pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan.
5.      Koperasi adalah wahana yang tepat untuk merealisasikan ekonomi Pancasila terutama karena terpenuhinya tuntutan kebersamaan dan asas kekeluargaan. Dalam keseluruhan koperasi adalah pusat kemakmuran rakyat.


ORGANISASI KOPERASI SEBAGAI SISTEM SOSIAL EKONOMI
Sebuah organisasi dapat dikatakan sebagai Koperasi dan sistem ekonomi sosial apabila terpenuhinya Empat Ciri Organisasi Secara Sosio-Ekonomis. Menurut Hanel (1989:30) suatu organisasi kerjasama ekonomi dapat disebut koperasi, apabila memenuhi kriteria-kriteria pokok sebagai berikut :
a.      Ada sejumlah indvidu yang bersatu ke dalam suatu kelompok atas dasar sekurang kurangnya karena ada satu kepentingan ekonomi yang sama dan kemudian disebut dengan kelompok koperasi (Cooperative Group);
b.      Anggota-anggota kelompok koperasi bertekad mewujudkan pencapaian tujuan atau kepentingan (yang sama itu) secara lebih baik melalui usaha-usaha bersama dan saling membantu atas dasar kekuatannya sendiri yang disebut swadaya koperasi (Self Help Cooperative)
c.      Sebagai alat untuk mewujudkan pencapaian tujuan atau kepentingan kelompok tersebut kemudian dibentuklah perusahaan yang didirikan, dimodali, dibiayai, dikelola, diawasi dan dimanfaatkan sendiri oleh para anggotanya dan perusahaan ini disebut perusahaan koperasi/unit usaha koperasi (Cooperative Enterprise)
d.      Tugas pokok perusahaan koperasi adalah menyelenggarakan pelayanan-pelayanan barang dan jasa yang dapat menunjang perbaikan perekonomian rumah tangga anggotanya atau unit ekonomi/usaha anggota yang kemudian disebut sebagai tugas pokok yakni mempromosikan anggota (Members Promotion).
Koperasi sebagai suatu sistem sosial-ekonomi tidak dapat dipisahkan dari interaksi komponen-komponen yang terdapat didalamnya  Seperti yang dikemukakan di atas hubungan-hubungan utama antara komponen-komponen organisasi koperasi adalah hubungan antara anggota-anggota perorangan, kegiatan-kegiatan ekonomi anggota, kelompok koperasi, perusahaan koperasi dan organisasi koperasi, hubungan tersebut dapat ditunjukan pada gambar dibawah ini :

Gambar 2 Organisasi Koperasi sebagai Sistem Ekonomi Sosial
Sumber: Hannel, 1989, 32
Dari gambar diatas menjelaskan organisasi koperasi secara sosial ekonomis mencerminkan adanya dua perusahaan yang memiliki dua sifat yang berbeda. Pertama, perusahaan koperasi yaitu perusahaan yang dimiliki secara kolektif yaitu oleh para anggota itu sendiri, yang bersifat membantu mempermudah tujuan dari para anggotanya. Kedua, perusahaan (unit ekonomi) anggota atau rumah tangga anggota yaitu perusahaan/rumah tangga milik masing-masing anggota secara individu. Pada koperasi konsumen perusahaan anggota  disebut rumah tangga anggota, dimana rumah tangga anggota besifat kapitalistik maksudnya, rumah tangga anggota berusaha mendapatkan manfaat atas usahanya secara maksimal/ optimal.
Perusahaan koperasi didirikan oleh para anggota-anggotanya terutama untuk menunjang kegiatan perusahaan dan atau rumah  tangga anggota dalam rangka meningkatkan kekuatan ekonominya melalui penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan. Agar perusahaan koperasi dapat menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh perusahaan/rumah tangga anggota secara efisien, maka koperasi tersebut harus melaksanakan fungsi-fungsi yang mencerminkan berbagai keuntungan dari kerjasama dengan demikian peningkatan potensi pelayanan yang cukup bagi kemanfaatan para anggotanya dapat tercapai.

INKUBATOR KEWIRAUSAHAAN
Menurut Akademisi Universitas Brawijaya Dr. Susilo, SE., MS Inkubator bisnis Merupakan suatu organisasi yang menawarkan berbagai pelayanan pengembangan bisnis dan memberikan akses terhadap ruang/lokasi usaha dengan aturan yang fleksibel. Konsep dasar daripembentukan inkubator kewirausahaan adalah berorientasi teknologi atau non teknologi, lokasi didaerah perkotaan ataupun dipedesaan, mencari untung ataupun tidak, milik masyarak atataupun swasta, berdiri sendiri ataupun merupakan bagian dari suatu matarantai tertentu semua itu ditujukan untuk meningkatkan bakat/jiwa kewirausahaan. Dimana prinsip dari inkubator bisnis itu sendiri yaitu, (a) Inkubator Bisnis harus memberikan dampak positif pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, (b) Inkubator bisnis merupakan suatu modal dinamis yang mampu mangikuti perkembangan dan beroperasi secara efisien hingga mencapai kemandirian
Konsep inkubator kewirausahaan pun memiliki tujuan. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari adanya inkubator bisnis yaitu:
1.      Menurunkan angka kematian bisnis dan meningkatkan jumlah bisnis baru.
2.      Menyiapkan bisnis secara terpadu, sebelum bersaing dipasar bebas.
3.      Mengembangkan usaha dan mempengaruhi serta menumbuhkan budaya wirausaha
4.      Memperluas lapangan kerja, menyerap tenaga terdidik, menambah omzet usaha sehingga akan meningkatkan perputaran uang serta mengembangkan ekonomi suatu wilayah
5.      Menumbuhkan adanya inovasi baru
6.      Menumbuhkan iklim yang interaktif antar sesame bisnis

APLIKASI KOPONTREN BERBASIS KEWIRAUSAHAAN

Gambar 3 Model Kerja Koperasi Pondok Pesantren
            Setelah sebelumnya digambarkan bagaimana sistem BMT dalam mengelola dana ZISWAF untuk kegiatan produktif maka selanjutnya adalah bagaimana kopentren di pondok pesantren bekerja. Pada gambar 2 dijelaskan bahwa anggota kopontren tidak hanya pengajar/staf dan santri tapi juga lingkungan sekita pondok pesantren, nantinya diharapkan tidak hanya lingkungan pondok pesantren tetapi kemandirian ekonomi dan kesejahteraan dapat dirasakan oleh lingkungan sekitar pondok pesantren. Mereka yang ingin berwirausaha maupun yang tidak diharpkan dapat bergabung menjadi anggota kopontren dimana setiap anggota nantinya akan menjadi pemilik sekaligus pengguna kopontren sehingga perputara ekonomi di kopontren dapat bergerak. Selanjutnya bagi yang ingin berwirausaha kopontren diharapkan mempunyai suatu wadah inkubtor kewirausahaan yang nantinya dapat menjamin keberlangsungan usahakopontren maupun anggotanya sehingga dana yang diberikan atau dipinjamkan melalui BMT kepada masyarakat pondok pesantren dapat dipergunakan secara optimal. Inkubator kewirausahaan juga berfungsi sebagai katalisator untuk menekan angka kematian usaha kopontren, sehingga nantinya usaha kopontren dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat pondok pesantren. Wadah kopontren juga berfungsi sebagi media dalam menjalin kerja sama dengan stakeholders maupun pihak lainnya diluar lingkungan pondok pesantren. Dalam hal ini kopontren sudah mampu memperlebar lingkup ushanya dimana kopontren bukan lagi memanfaatkan pasar dilingkungan pondok pesantren tapi sudah mampu menjalankan usahanya diluar pondok pesantren. Sehingga akan semakin kuatnya ekonomi pondok pesantren yang ditopang oleh usaha kopontren yang nantinya dapat membantu membiayai aktivitas pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan tidak lagi ketergantungan pada bantuan pemerintah, sumbangan orang tua santri maupun donator lainnya.

BMT, KOPONTREN DAN PEMBERDAYAAN
Di Negara berkembang seperti Indonesia tumpuan ekonomi utama berasal dari usah-usaha mikro dimana usaha mikro menjadi roda penggerak perekonomian masyarakat. Namun kendalanya usaha mikro tidak mampu bersaing dikarenakan kekurangan modal kerja untuk operasional kegiatannya maka dari itu di dalam operasionalnya, BMT sangat bersentuhan langsung dengan perekonomian masyarakat. Kegiatan yang dilakukan seperti yang telah dijelaskan di atas, adalah gambaran dari kedekatan BMT dengan sektor rill yang meminimalkan kegiatan spekulasi dan memaksimalkan kemampuan masyarakat dalam bidang produksi dengan pembiayaan-pembiayaan yang dilakukan, sesuai dengan produk-produk yang berlaku pada tiap – tiap BMT yang ada. Sehingga BMT dan Kopontren yang ada didalam podok pesantren bisa dioptimalkan peran dan fungsinya serta bersinergi dalam meningkatkan  kemandirian ekonomi dan kesejahteraan pondok pesantren.

PENUTUP
Pembahasan diatas menjelaskan BMT dalam usaha meningkatkan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan pondok pesantren yang dilakukan dengan cara pemberdayaan melalui usaha-usaha mikro masyarakat pondok pesantren dimana menjadikan BMT sebagai penggerak sektor rill adalah menjadikan BMT sebagai pusat unit kegiatan masyarakat pondok pesantren, dengan mengaktifkan dan memfungsikan 4 dimensi BMT, yaitu Dimensi Produser, Konsumen, Distributor dan Sirkulator. Dimana BMT menjadi tumpuan harapan masyarakat pondok pesantren berkenaan dengan masalah Investasi, Distribusi, dan Sirkulasi. Namun, peran kopontren juga sangat penting dalam meningkatkan geliat usaha-usaha masyarakat pondok pesantren sehingga nantinya usaha-usaha mikro dapat berdaya dan diharapkan pelaku-pelaku usaha mikro yang sudah berdaya dan menjadi kaum aghniya dapat menjadi muzakki, sehingga usaha dalam menigkatkan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan pondok pesantren bersifat berkelanjutan.
Namun hal ini tidak akan terjadi apabila pemerintah terutama pemerintah setempat tidak menaruh perhatian pada perkembangan dan kemajuan BMT dan Kopontren yang ada di pondok pesantren serta perkembangan ekonomi Islam. Jika pemerintah tidak menaruh perhatian pada lembaga ini, maka kita tidak bisa berharap banyak BMT dan Kopontren dapat meningkatkan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan pondok pesantren. Intinya, peran pemerintah juga sangat signifikan dalam menjadikan dan memposisikan BMT dan Kopontren sebagai penggerak sektor rill dan mampu bersaing ditengah era globalisasi khususnya pasar bebas ASEAN.

REFERENSI

1.       Anonim. Koperasi atau Kokoperasi. https://007umkm.wordpress.com. 2008.
2.      Menegkop dan UKM RI, Koperasi Terbaik di Seluruh Indonesia. (Jakarta: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, 2005) h. 28.
3.      S. Partomo dan Soejoedono, Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002) h. 30.
4.      Susilo. Inkubator Bisnis. http://dokumen.tips/documents/inkubatorisnisfixxxxx.htm. 2015.
5.      Buchari Alma, Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum (Bandung: Alfabeta, 2010) h. 32.
6.      Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Cet. 1, (Jakarata : Gema Insani Press, 2001), hal.90.
7.      Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal. 180.
8.      Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam (Teori dan Praktek), Cet. I, (Jakarta: PT Intermasa, 1992), hal. 168.
9.      Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, UII Press, Cet I, Yogyakarta, hal. 265.
10.  Karnaen Anwar Perwataatmadja dan Hendri Samsul Bahri Tanjung, Bank Syariah (Teori, Praktik, dan Peranannya), Cet I, (Jakarta: Celestial Publishing, 2007), hal. 77.
11.   Ahmad Sumiyanto, Problem dan Solusi Transaksi Mudharabah (Di Lembaga Keuangan Syari’ah Mikro Baitul Maal Wat Tamwil), (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2005), hal. 2. 
12.  Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algoud, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik, dan Prospek, Cet. I. (Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2003), hal. 48.  
13.  Buchari Alma, Profil Koperasi Berprestasi Tahun 2006. (Jakarta: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, 2006) h. 67.
14.  Reinald Kasali, Change Managemen, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005) h.23.
15.  H.R. Adisasmita, Dasar-dasar Ekonomi Wilaya. (Jakarta: Graha Ilmu, 2005) h.110.
16.  Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
19.  https://zarchisme.wordpress.com /tag/4-fungsi-bmt/, diakses pada 27 Mei 2015 pukul 16.47 WIB.
22.  http://idr.iain-antasari.ac.id/1762/1/BAB%20I.pdf, diakses pada 28 Mei 2016 pukul 13.40 WIB.
23.  http://nurul-ilmi.com/pesantren-di-banten/, diakses pada 28 Mei 2016 pukul 13.40 WIB.

Comments

Popular posts from this blog

Menilik Target dan Indikator SDGs Tujuan ke-1

Good Governance and Clean Goverment: Kunci Kabupaten Tangerang Gemilang Di Era Global

UKM Kokesma Untirta Memberikan Pengenalan Koperasi kepada 2600 Mahasiswa Baru